Suara riuh di dalam warnet kembali membangunkan tidur saya. Rupanya sudah Subuh. Sebelum hari beranjak semakin terang, saya segera membangunkan Uki. Rekan perjalanan kelahiran Kudus itu benar-benar terlelap. Matanya masih sayu tanda enggan meninggalkan mimpi.
Diikuti Uki, saya menyeret kaki menuju Masjid Besar Pakualaman. Bukan, bukan untuk pindah tempat tidur. Tetapi untuk menunaikan salat Subuh. Air wudunya menyegarkan. Salat pun terasa teduh. Terpenting, saya bisa salat tepat waktu.

Melangkahkan kaki ke luar masjid, belum ada pergerakan berarti. Hanya segelintir orang. Di seberang dinding pagar masjid, dua buah becak terparkir rapi. Belum terlihat tanda-tanda akan dikayuh lagi. Masih diam. Pun pemiliknya. Mereka tertidur nyenyak di dalam becak. Bertutup plastik di bagian depan agar tidak kedinginan.

Bagi orang yang biasa tidur di ranjang yang empuk, mungkin tidak akan terbiasa tidur seperti mereka. Kakinya diangkat bersandar dinding. Mencuat keluar becak. Dibungkus kaus kaki sebagai penumbuh kehangatan melewati malam.

Berjalan ke timur, gerbang istana Pakualaman terbuka lebar. Penjaga gerbang masih nyenyak tertidur. Ingin rasanya masuk ke dalam tapi tidak enak hati. Ya sudahlah, menikmati dari luar saja.

Di balik rerimbunan pohon besar, matahari mulai terlihat. Terbit di atas atap. Tapi, ia tak disambut meriah seperti orang-orang di puncak gunung. Orang-orang lebih memilih merepotkan diri dengan rutinitasnya. Berbelanja, bersepeda, lari pagi, hingga jalan santai. Yogyakarta pagi ini masih lengang. Sisa hujan semalam juga masih membekas. Tapi, udara sejuk ternyata cepat hilang seiring matahari semakin meninggi.
Saya mulai merasa gerah. Melihat warung di depan warnet, terpikir untuk memulai sarapan. Nasi plus sayur lodeh dengan minuman teh panas menjadi menu pilihan. Semakin gerahlah suasana di dalam warung.
“Ben sumuk mesisan,”maringunu adus,” batin saya. (*)
Foto sampul:
Istana Pakualaman Yogyakarta
Tinggalkan Balasan