Rasanya cukup lelah setelah menikmati Pantai Batu Payung dan Tanjung Aan. Terlebih, makan siang yang mengenyangkan membuat tubuh rasanya ingin segera menemukan lelap. Namun Pak Husni, sang guide, mengingatkan masih ada satu tempat lagi yang dikunjungi sebelum menuju bandara.
Tempat itu adalah Sade, sebuah dusun di Desa Rembitan. Masih dalam kawasan Lombok Tengah yang rupanya menaungi banyak tempat bagai manikam di Pulau Lombok. Sebuah pemukiman di mana adat Sasak sebagai penduduk asli Pulau Lombok masih dijunjung tinggi.
Menjunjung dan memegang teguh adat di tengah modernisasi memang penuh tantangan. Tak mudah. Kendati sudah teraliri listrik dan mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah setempat, Sade masih tetap membumi.

Coba ditengok. Rumah khas Sasak beratap alang-alang, berdinding anyaman bambu, dan beralas tanah masih berdiri semarak. Rumah-rumah tersebut ada yang untuk hunian, lumbung padi, dan tempat upacara. Saya jadi ingat rumah Tongkonan di pemukiman Kete Kesu di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Begitu khas dan megah. Membumi di tengah arus kemajuan zaman. Memberi kesan wibawa bagi para pelancong yang datang bertandang. Rumah tersebut hanya salah satu bagian dari banyak kearifan lokal yang dimiliki dusun Sade. Yang santer terdengar adalah cerita tentang “penculikan cinta”. Tradisi demikianlah yang paling pertama disampaikan oleh guide kepada rombongan Travel Writers Gathering 2014 yang baru tiba.

Pribumi Sade tidak mengenal pertunangan. Pertunangan adalah hal yang tabu di Sade. Maka, dengan asas suka sama suka, sang lelaki membawa lari sang pujaan hati. Tentu bukan penculikan sembunyi-sembunyi penuh ancaman bagai kriminal Blackheart yang menculik Roxanne, kekasih Johnny Blaze di film Ghost Rider. Perburuan cinta tersebut atas sepengetahuan orang tua masing-masing sehingga akan berujung pada pernikahan secara terhormat. Epik sekali. Bayang-bayang kisah cinta tersebut perlahan lenyap kala memasuki rumah adat Sade. Lombok yang selama ini terasosiasi dengan panas dan kering kerontang, kian samar ketika kesejukan teredar di seluruh penjuru ruangan. Bahkan meskipun beralas tanah, tetap dianggap bersih dan suci setelah sebelumnya dilumuri kotoran kerbau. Keyakinan yang erat terwariskan dari leluhur.

Saya mencoba masuk. Rasanya sejuk dan nyaman. Saya berpikir, dengan hawa seperti ini, barangkali nyamuk pun tak akan bebas melayang haus darah. Ada satu lagi yang selalu saya menaruh respek setinggi-tingginya kepada warga desa manapun. Yaitu kesederhanaan. Sebuah sifat yang tidak hanya terpapar pada materi yang melekat pada tubuh mereka. Tetapi juga raut muka yang penuh gurat tegas. Raut bergurat tersebut merupakan pertanda bahwa mereka adalah kaum pekerja keras dan kreatif. Apa adanya.

Berkarya dengan menciptakan berbagai hasil kerajinan tangan menjadi salah satu andalan mereka. Hasilnya, yang penting cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bukankah hidup demikian adalah arif dan bersahaja? Saya yang kini tinggal di kota besar selalu menghaturkan salam takzim kepada mereka. Mencoba mengulas senyum lebar, saling berbalas sapa.

Tak jemu-jemu. Itulah kesan ketika mereka menawarkan barang dagangannya. Berupa-rupa dan beraneka ragam sesuai fungsinya masing-masing. Ada gelang, tasbih, kaos, hingga kain tenun khas Sasak yang sudah kondang. Mereka orang-orang yang kreatif.
* * *
Tak terasa, langkah kaki kami menemui ujung. Kembali bersua dengan gerbang dusun yang penuh rupa-rupa ini. Penuh keanekaragaman yang hanyut dan larut dalam harmoni.

Saya belajar banyak dari Sade. Dusun dan pribuminya seolah menitipkan pesan kepada para pejalan. Bahwa mereka berhak untuk tetap hidup lestari di tengah era zaman yang terus melesat. Lestari, dengan tetap memegang teguh adat dan istiadat yang telah berakar melekat. Pribumi Sade telah berjuang menjaga anak dan cucu mereka. Agar tetap setia pada segala tradisi yang telah bergulir sejak lama. (*)
Foto sampul:
Kisah cinta antar lawan jenis di Sade adalah yang paling pertama dijelaskan oleh sang guide
Tinggalkan Balasan