Sebelumnya, saya mohon maaf, nyuwun pangapunten jika tulisan ini terkesan acak dan kacau. Jika boleh bergurau, saya menulis dari emosi yang terdalam. Maklum, ini termasuk isu yang sensitif. Saya hanya ingin berbagi dan mengajak njenengan untuk turut berbagi. Semoga cukup mewakili. Pembaca yang budiman, tahukah rasanya bagaimana tersentil itu? Atau jika dalam bahasa Jawa “dijawil”. Dicolek pada bagian tubuh dan membuat njenengan kaget, geli hingga bergeliat. Saya pernah merasakannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kini akan diceritakan rasanya tersentil. Padahal saya belum melakukan apa-apa. Hanya pernah sempat berhasrat saja lalu menguap. Lalu memilih untuk dibiarkan terpendam dan hilang selamanya.
Mungkin sebagian dari njenengan ada yang sudah pernah membaca artikel yang ditulis apik dan menggugah dari dua sahabat blogger dengan judul-judul berikut: Lebih Baik Jangan Ke Pulau Sempu yang ditulis Mas Wisnu Yuwandono dan Selamat! Anda Telah Berhasil “Merusak” Pulau Sempu yang ditulis oleh Mas Pradikta Dwi Anthony. Tulisan mereka mendapat beragam komentar. Biasa, pro dan kontra. Wujud dari kebebasan berpendapat. Monggo silakan njenengan baca dulu barangkali penasaran dan silakan tinggalkan komentar atas tulisan mereka. Sudah membaca? Mari jika berkenan saya ajak menyimak apa yang hendak saya utarakan. Sama seperti mereka. Sederhana saja, anggap saja sebagai buah pemikiran orang sipil yang berusaha untuk peduli. Meskipun belum terlihat aksi nyata, tapi saya mencoba berusaha beraksi lewat kata-kata.
Sebenarnya, bukan hanya Pulau Sempu yang ditahbiskan menjadi cagar alam. Masih ada banyak tempat yang berada dalam status cagar alam seperti yang sudah banyak dikenal di antaranya Nusa Barong, Kawah Ijen – Merapi – Ungup-ungup, Bawean, dan masih banyak yang lain. Kawah Ijen sudah menjadi Taman Wisata Alam (TWA) dalam Cagar Alam Kawah Ijen – Merapi – Ungup-ungup. Pulau Bawean, selain sebagai cagar alam, juga menjadi suaka margasatwa seperti Dataran Tinggi Iyang yang masyhur dengan Gunung Argopuro-nya. Sehingga, Pulau Sempu maupun Nusa Barong tetap menjadi cagar alam bersama yang lain yang tak tersebut dalam suaka margasatwa atau TWA. Jika berkenan, mari dicari bersama-sama apa itu definisi dan fungsi cagar alam? Apa bedanya dengan taman nasional? Bagaimana dan sejauh mana peran Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (www.bbksdajatim.org)?
Coba disimak tulisan promosi wisata Pulau Sempu di situs resmi pariwisata Indonesia (www.indonesia.travel). Mereka paham jika Pulau Sempu adalah cagar alam. Dan di bagian Tips, mereka memberikan himbauan untuk mengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) di pihak berwenang sebelum memasuki Pulau Sempu. Tapi, himbauan itu seperti masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Himbauan tersebut tenggelam di antara tulisan-tulisan tentang keindahan Pulau Sempu dan merupakan tempat yang cocok untuk melupakan kenyamanan modern. Dan dianjurkan berkemah jika ingin menginap semalam. Sekali sebuah tempat wisata dikabarkan keindahannya mulai dari wujud mulut ke mulut, foto, video hingga artikel, maka akan menarik minat orang untuk mengunjunginya. Manusia memang dikaruniai rasa penasaran dan kehendak untuk memupusnya. Saya pun demikian. Kerap saya merasa munafik karena lupa menyampaikan pesan kebaikan dan tak sejalan antara ucapan maupun tindakan. Sekali lagi, kulo nyuwun pangapunten.
Tak bermaksud sombong. Jujur, saya malah bersyukur. Meskipun sudah 5 tahun di Malang untuk menempuh studi sarjana, tak sekalipun menunjukkan minat bertandang Pulau Sempu. Padahal sering sekali teman-teman mengajak camping di sana. Saat semester awal pernah sempat tertarik dan berhasrat ingin berkemah di sana. Tetapi setelah dipikir-pikir matang (melihat statusnya sebagai cagar alam), maka saya menarik lidah untuk tidak menunjukkan minat ke sana lagi. Meskipun dengan tekad mulia minimal membawa pulang sampah sendiri, tapi sama saja injakan kaki ke sana sudah melanggar aturan pemerintah yang sepertinya perlu rambu-rambu tambahan. Dan sikap ini seakan didukung dengan rupa tidak pernah menemukan waktu yang tepat untuk pergi ke sana. Kalaupun ada waktu longgar, saya memilih mengalihkan tujuan ke pantai lain yang tak kalah indah.
Keindahan itu relatif. Keindahan bisa melenakan jika tujuannya menghancurkan. Himbauan membawa pulang sampah sepulang dari Pulau Sempu tak cukup mengontrol kunjungan orang ke sana yang tak semuanya sadar. Juga kondisi sudah terlanjur basah dengan banyaknya nelayan yang menawarkan kapalnya menyeberang ke Pulau Sempu dari Pantai Sendang Biru. Saya salut dengan beberapa teman yang sudah pernah sekali ke sana. Lalu tidak pernah berkeinginan mengunjunginya lagi setelah sadar statusnya sebagai cagar alam.
Saya sebenarnya juga mengapresiasi sebuah proposal penelitian yang pernah disampaikan seorang mahasiswi perguruan tinggi di Semarang (Sumber berita: Place Branding Cagar Alam Pulau Sempu). Ia memaparkan presentasi dan menawarkan konsep mengenai perubahan place branding Pulau Sempu menjadi taman nasional agar dapat dikunjungi untuk keperluan wisata dan bisa memberikan dampak perekonomian bagi nelayan setempat. Jika demikian, prosesnya sangat rumit. Karena pasti menimbulkan polemik panjang. Kalaupun “terpaksa” dijadikan taman wisata, maka perlu diusulkan untuk memperketat peraturan bagi wisatawan. Seperti aturan wajib menggunakan jasa ranger/guide setempat yang terlatih dan berwawasan konservasi, aturan kunjungan yang dibatasi maksimal satu hari (one day trip) dan tak boleh menginap, menaikkan tarif masuk untuk penerbitan SIMAKSI yang terpusat di BBKSDA Surabaya, dan langkah lain-lain yang tak boleh mengusik penghuni asli Pulau Sempu berkembang secara alami agar ekosistemnya tetap terjamin dan terlindungi.
* * *
Setidaknya kita harus tahu diri, dulur. Relung hati dan tingkat kepekaan alam lebih tinggi daripada manusia. Namun mereka sementara hanya bisa diam. Apakah njenengan pernah merasa terganggu ketika ada orang yang menyetel musik keras-keras dan memekakkan telinga di samping kamar kos atau rumah njenengan? Padahal njenengan ingin suasana tenang karena besok akan ada ujian atau sudah larut malam, misalnya. Iya? Pernah? Maka alam pun pasti akan merasa demikian. Jika orang-orang itu membawa gitar dan seperangkat alat tabuh di Pulau Sempu. Lalu di luar tenda beralas pasir bernyanyi riang dan mendendangkan lagu kesukaan mereka, seolah-olah pulau itu milik sendiri. Suasananya memang hening selain suara nyanyian dan obrolan-obrolan kencang itu. Tapi, percayalah jika alam Pulau Sempu pasti mbatin melihat tingkah laku manusia itu. Kita manusia yang bagaimana semestinya? Atau misalnya, apakah njenengan pernah merasa tersinggung ketika ada orang mengganggu asyiknya aktivitas njenengan? Iya? Pernah? Biasanya kan langsung menegur yang mengganggu itu. Baik menegur secara halus atau ikut-ikutan menjurus kasar. Tapi alam? Hanya mampu diam untuk sementara. Pulau Sempu pun demikian. Njenengan tahu dengan “siapa” atau “apa” kita berhadapan jika berada di sana? Monggo disimak informasi berikut.
Tinggal menunggu waktu saja sebenarnya bagi alam untuk “unjuk gigi” dan bersuara. Menunggu titah dari Sang Pencipta. Duhai, sampah-sampah peninggalan para wisatawan tak tahu diri, seperti di gunung-gunung atau tempat wisata lainnya. Sampah-sampah itu tak salah. Siapa yang mestinya bertanggungjawab? Mereka yang tak menghormati habitat asli para flora-fauna yang turun-temurun hidup di sana. Mereka yang dengan penuh bangga dan senyum tertawa membuktikan kehadirannya di sana. Berenang di laguna yang kecipaknya mengganggu biota di dalam air. Membuat api unggun yang meninggalkan bara hitam, juga peninggalan anorganik yang tertinggal jelas di atas pasir putih.
Suatu saat Pulau Sempu pasti bergejolak secara alami. Alam raya dan semesta di bumi ini memerlukan proses yang sangat panjang untuk sekadar bersolek. Membutuhkan waktu lama untuk membentuk diri menjadi wujud-wujud yang seperti terlihat sebagian besar manusia saat ini. Tak terkecuali Pulau Sempu. Berjuta-juta tahun lamanya alam berproses setelah tercipta. Tetapi manusia seperti saya, njenengan, dan kita semua hanya membutuhkan waktu tak sampai bilangan 24 jam untuk merusaknya. Mengacaukan alur hidupnya. Ingat, alam bisa mengamuk lebih mengerikan daripada yang dibayangkan orang-orang yang tak berpikiran panjang. Banjir dan tanah longsor bisa dijadikan contoh nyata. Bencana demikian ada yang berskala rendah hingga berdampak mematikan. Apakah menunggu Tuhan “turun tangan” menunjukkan kuasa-Nya? Untuk yang kesekian kalinya (tak terhingga) hanya untuk mengingatkan manusia yang katanya makhluk sempurna? Kita yang kadang kerap menyombongkan diri dan meremehkan hal-hal sepele. Padahal, sombong adalah selendang dan kebesaran pakaian-Nya. Maka, Tuhan berhak murka.

Tapi, masih ada ruang optimis. Langkah-langkah Komunitas Peduli Sempu, gerakan #SaveSempuMLG (Twitter – Facebook) maupun Petisi Sempu yang diprakarsai oleh Mas Pradikta Dwi Anthony, patut diapresiasi. Ternyata ada udara segar bagi orang-orang yang peduli. Masih ada “pintu mana saja” untuk menyelamatkan Pulau Sempu.
Setidaknya, cukuplah memandang kulit Pulau Sempu dari Pantai Sendang Biru atau Pantai Tamban. Pantai Sendang Biru pun juga terlihat manis dengan kapal-kapal nelayan yang bersandar. Atau melihat aktivitas pelelangan ikan yang menyejahterakan warganya. Itu lebih dari cukup, dulur. Artinya? Mari kita melakukan sesuatu pada tempat yang semestinya.
Saya hanya pernah berhasrat beberapa tahun lalu. Tetapi saya ikut tersentil, tersindir, dan malu membaca pemikiran tertulis seorang Mas Wisnu Yuwandono dan Pradikta Dwi Anthony. Ya, saya pro dengan opini dan tindak-tanduk mereka. Bagaimana yang hendak ataupun sudah terlanjur bertandang? Terbukakah tabir kesadaran yang dalamnya tiada bisa terkira itu? Monggo dipikir dengan hati tenang, dulur.
Sekarang kembali lagi. Coba tanyakanlah pada Pulau Sempu, apa kini maumu? Maturnuwun.
Tinggalkan Balasan