“Bangun, bangun!”
Ugh, apaan sih! Saya semakin dalam menangkupkan sleeping bag membalut tubuh.
“Hei, bangun! Indonesia hari ini ulang tahun!”
Saya tersentak. Mata sontak membuka. Pemilik suara itu menghilang. Saya seperti mendengarnya setengah sadar. Mungkin titipan wahyu yang bersuara lewat angin Subuh, atau malah lewat nyamuk-nyamuk yang beterbangan mencari titik nikmat menghisap darah tubuh kurus ini. Rombongan fotografer asal Sumbawa yang semalam tidur di gubuk sebelah itu sudah berjalan menuju puncak bukit, sementara saya masih mengucek-ucek mata.
Seakan mendapat sengatan nyamuk yang bertubi-tubi, saya langsung beranjak bangun dan menunaikan salat Subuh. Saya lempar begitu saja sarung yang terlipat tak rapi ke tumpukan barang-barang, lalu melonjak girang seperti saat siang kemarin.
Dengan sedikit berlari-lari kecil seperti kancil, saya menerabas semak-semak rendah yang menutupi jalan paving. Saya memilih tak menyusul mereka ke puncak bukit, karena dari tempat saya berhenti tak jauh dari sebuah gazebo sudah cukup untuk menyambut pagi. Selamat datang, sang fajar!

Sekarang adalah jam emas. Saya berdiri sendiri, melihat rilis pagi. Mengingat perpisahan singkat dengan pendaki Gunung Rinjani saat di pelabuhan Lembar dua hari yang lalu. Mereka menuju puncak gunung untuk menyambut matahari terbit, sedangkan saya kini berada di negeri tempat matahari itu terbit. Saya berada di posisi lebih ke timur dibandingkan mereka. Sudahlah, kami berhak merayakan hari sakral ini dengan cara kami masing-masing.
* * *
17 Agustus 1945. Di sepertiga malam terakhir menjelang Subuh, garda terdepan bangsa sibuk berunding. Ruang makan di dalam rumah Laksamana Maeda menjadi saksi bisu perumusan naskah proklamasi. Di bawah cahaya redup, mereka berbagi tugas. Tek, tek, tek! Suara tombol keras mesin ketik begitu kencang, tak kenal merintih dipijit Sayuti Melik demi menggoreskan jejak tinta berwujud alfabet-alfabet yang kelak menggetarkan jiwa yang membaca bahkan mendengarnya dipekikkan.
Barangkali, kantung mata para perumus tersebut tebal menggantung usai naskah rapi diketik dan ditandatangani. Dua bubuhan tanda tangan dari Soekarno dan Hatta menutup selembar naskah yang suci itu. Juga, degup jantung yang berdetak kencang dalam salah satu pribadi yang sangat mungkin bergejolak perasaannya menanti-nanti kata demi kata naskah diproklamirkan.
Di kediaman Soekarno di tepi ruas Jalan Pegangsaan Timur 56, banyak orang berkumpul. Mereka adalah para pejuang, baik yang berpangkat maupun bukan. Angka jarum jam mulai menginjak di dua angka, jarum pendek di angka 10, dan yang panjang di angka 12. Penantian itu berakhir, proklamasi yang terucap dari mulut insinyur itu menghapus dera getir.

Lalu sekejap sang saka merah putih yang telah rekat dijahit Ibu Fatmawati, berkibar menuju pucuk tiang tertinggi oleh Latief Hendraningrat dan Soehoed. Wage Rudolf Supratman seakan hidup kembali di tengah-tengah mereka, dan seolah tersenyum ketika terdengar alunan Indonesia Raya. Peristiwa tersebut menjadi berita utama. Dan para utusan-utusan dari berbagai pihak bergerilya menyebarkan berita gembira itu ke sejumlah tempat yang bisa terjangkau.
Masih di hari 17 Agustus 1945, yang mana Tuhan pasti mencintai negeri ini. Hingga aku pun berpikir heran namun menerima kuasa angka 17 itu sebagai misteri dan rahasia-Nya, sebagai tanggal pilihan untuk kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan sebagai hadiah dan anugerah dari Tuhan. Diiikuti tanggung jawab yang besar, mendampingi Garuda, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan Sang Saka menerjang gejolak pergerakan zaman untuk kemajuan bangsa.
* * *

Bendera merah putih itu saya cium lekat dan tergenggam erat. Walau untaian tali paling bawah lepas, saya tetap mengikatkan dengan dua bagian tali yang lain ke sebuah tangkai pohon yang menancap sedari kemarin. Untaian tali itu memeluk teguh. Angin yang berhembus kencang diserap halus dengan kibar gemulai sang saka. Ia berkibar dengan kokohnya, mengikuti arah angin yang terus berhembus ke timur.
Saat-saat sang saka saya cium dan tergenggam erat, saya menganggap itu adalah sebuah sumpah tak terucap. Semacam ikatan kontrak abadi. Hanya kalbu yang berbicara secara batin dengan dwi warna itu. Sebuah sumpah, bahwa saya berjanji tak akan berhenti mencintai negeri ini sepenuh hati. Akan terus mengabdikan diri untuk Indonesia tercinta dengan jiwa dan raga yang terlahir dari tanah liat milik ibu pertiwi. Sesuai kemampuan, sesuai pilihan hidup yang ditempuh.
Dan tak kalah penting, sebuah sumpah untuk tak akan mengecewakan para proklamator, para pejuang, para pahlawan, dan para pendahulu dari seluruh penjuru negeri. Mengecewakan mereka berarti mengecewakan Tuhan. Karena Dia, karena mereka, saya dan orang-orang itu bisa seperti sekarang ini.

Saya memandang dalam-dalam sang saka yang berkibar rendah itu, menaruh hormat, dan bersujud mencium pasir untuknya. Sebagai ucapan terima kasih saya, sebagai sumpah di hari kemerdekaan ini, dan sebagai harapan untuk bakti saya di hari-hari berikutnya.
Saya yakin Tuhan mencintai negeri ini, maka Indonesia berhak mendunia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya yakin, Indonesia tak akan goyah tercerabut dari akarnya, karena yakin pula garuda di dada serta bhinneka tunggal ika pun tak akan terkikis dari sanubari.
Matahari tujuh belas Agustus semakin meninggi. Lagi-lagi waktu memacunya dengan pesat. Ia seperti menyampaikan pesan-pesan dari para malaikat yang diutus Tuhan, “Jadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin”. Pesan untuk seisi alam semesta. Setiap hari tak akan sama. Tetapi, semesta harus berubah lebih baik dari hari ke hari. Ia, matahari, menyengat untuk melecut semangat. Dan ia, matahari, menghangat untuk menjaga tekad.
* * *
Rombongan fotografer asal Sumbawa itu meninggalkan Pulau Kenawa dan saya terlebih dahulu. Saya masih menyisakan tugas mengemas barang-barang di teras gubuk yang sudah sedari tadi menghangat terpapar cahaya pagi. Cahaya pagi yang juga menghangatkan tubuh yang masih lusuh karena belum terbilas siraman air mandi.

Sayup-sayup terdengar suara mesin sampan mendekat. Pak Irfan, sang pemilik sampan sudah datang untuk menjemput. Kini pukul 9 pagi, saya sadar harus meninggalkan pulau ini. Kembali melintas di Selat Alas yang mulai berombak. Hanya sekali saya menoleh ke belakang, melihat Kenawa yang kembali tenang. Kembali menyisakan ruang bermain yang bebas bagi penghuni-penghuninya setelah sempat terusik oleh manusia seperti kami.
Sampan kecil ini kembali merapat di dermaga kampung nelayan Pototano. Masih ada waktu beberapa jam sebelum saya memulai perjalanan kembali. Melanjutkan perjalanan semakin ke timur, ke Labuan Bajo. Menuju ke tempat matahari terbit lebih awal dibandingkan di Pulau Kenawa.
(Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Lombok Sumbawa World Travel Writers Gathering 2014)
Foto sampul:
Merah putih berkibar berlatar matahari terbit di Pulau Kenawa
Tinggalkan Balasan