Ingatkanku semua, wahai sahabat; kita untuk selamanya, kita percaya; kita tebarkan arah dan tak pernah lelah; ingatkanku semua, wahai sahabat…
Bersama Muchlis saat Bersih-Bersih Kali Brantas bersama Radar Malang (9 Maret 2013)
Penggalan lagu Sahabat milik Peterpan tiba-tiba terngiang saat memeluk erat tubuhnya yang kurus. Rasanya tangan ini begitu ingin mencengkeram lebih dalam jaket hitam yang menyelimuti tubuhnya. Rasa haru yang tertahan sejak berangkat dari rumahnya di Gresik nyata-nyata hendak membuncah, beriring air mata yang nyaris keluar. Kami saja yang “hanya” teman dan sahabat sangat terharu melepas keberangkatannya ke Jakarta, apalagi orangtuanya, terutama sang ibundanya yang lugu. Bapak dan pakdenya nan bersahaja nampak tegar, serupa dengan adik perempuannya, Rara. Riuh lobi stasiun Pasar Turi sore itu seperti jadi saksi pertemuan ini. Berulang kali saya menepuk pundak sang ibu, menghiburnya sedikit demi menguatkan hatinya. Saya bicara dalam bahasa Jawa krama yang intinya “Yang penting doa dan restu bapak ibu buat kesuksesan Muchlis. Insya Allah barokah”.
Sudah pukul 16.30, Fitrah dan saya membantu mengangkat tas carrier 60 liternya untuk dibawa Muchlis. Sebuah “kulkas” kehidupan yang akan menemaninya selama di Jakarta nanti, selain bodypack dan daypack-nya. Melihat carrier kesayangannya itu, saya jadi teringat masa-masa silam penuh perjuangan saat awal membangun sebuah “keluarga” baru: Gamananta.
Cita-cita Kecil untuk Negeri
Gamananta adalah nama baru untuk keluarga ini, dihasilkan dari embrio bernama D-Projecture saat perjalanan pertama kami (saya, Muchlis, Mas Kurniawan, Uqi, dan Anggrek) ke Ranu Kumbolo. Saya, Muchlis, dan Mas Kurniawan yang dulunya berada di bawah satu naungan organisasi kemahasiswaan, Oktober 2012 membentuk naungan baru dengan dunia yang berbeda, traveling. Sejarah singkatnya bisa dibaca di blog Gamananta. Tiga orang yang selalu membawa semangat Budal! dalam hal apapun, hingga menamakan diri sendiri sebagai “Trio Budal”. Lucu sekali. Kata mereka, kami bertiga ini sama-sama koplak, gila, dan budal thok wes!.
Bermula dari Ranu Kumbolo, komunitas kecil ini semakin menambah memori perjalanannya. Jika kebetulan waktunya pas, kami bertiga selalu terlihat bersama dalam sebuah perjalanan. Atau, paling tidak salah satu atau berdua dari kami yang mewakili kehadiran “Trio Budal” di setiap sendi-sendi destinasi. Terpenting adalah membawa nama Gamananta. Kami sama-sama mahasiswa akhir, sedang mengejar gelar. Mas Kurniawan satu tingkat di atas saya dan Muchlis. Saat itu, kami bertiga sedang berjuang dalam langkah kami masing-masing di tengah membesarkan Gamananta.
Saya masih sangat ingat perjalanan-perjalanan yang lalu, yang kami ukir bersama. Saya coba paparkan sekilas saja. Setelah Oktober mengunjungi Ranu Kumbolo, bulan November berlanjut ke Gunung Semeru dan Panderman. Saya juga masih ingat saat Muchlis begitu galaunya ingin ke Semeru bersama saya bulan November, namun ia tertimpa musibah tak terduga yang mengganjal impiannya menggapai Semeru. Sebuah impian yang akhirnya tercapai saat ia ke Semeru bersama Komunitas Backpacker Malang Raya pertengahan Desember. Ia membawa bendera Gamananta di sana, membuat nama itu semakin dikenal orang. Jelang akhir tahun 2012, kami menutup tahun dengan menyelenggarakan “Malang City Heritage Tour” dan touring ke Gunung Kelud plus Simpang Lima di Kediri saat tahun baru.
Gunung Panderman kembali jadi jujukan saat bulan Januari, mengajak teman-teman untuk mencintai olahraga mendaki gunung. Februari ada touring ke pantai-pantai di Malang selatan. Maret ada pendakian Gunung Arjuno dan berpartisipasi dalam acara lomba Lintas Alam Lindri di Tulungagung dan Bersih-bersih Kali Brantas bersama Radar Malang. April kembali mendaki Gunung Arjuno, ditambah Gunung Welirang dan Gunung Butak. Bulan Mei menjadi bulan yang cukup padat, kami berpartisipasi di Malang Communities Club yang digelar di perpustakaan pusat Kota Malang, sebuah media yang sangat baik untuk mengenalkan Gamananta. Sebelum itu, kami mendaki Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Merbabu-Merapi. Bulan Juni, ada semacam test run ke Panderman dan Penanggungan sebelum mendaki ramai-ramai ke Gunung Semeru di akhir bulan.
Gamananta juga berkontribusi untuk Indonesia lewat pendakian ke Gunung Arjuno dan Welirang dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia bulan Agustus lalu. Bulan September, pertama kalinya kami menjelajah luar Jawa, ke Gunung Rinjani. Gamananta juga sudah mampir ke Bromo, Air Terjun Madakaripura, Pegunungan Putri Tidur, Sulawesi Selatan, Surabaya saat 10 November, Gunung Slamet, dan Gunung Lawu. Di sela-sela traveling, kami sempatkan mengadakan berbagai pelatihan untuk bekal kami sebagai traveler yang mengusung budaya konservasi, seperti PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat), upgrading keorganisasian, dan mountaineering. Komunitas ini semakin berkembang, kami bertiga (Trio Budal) yakin Gamananta akan semakin besar. Ini cita-cita dan kontribusi kami untuk negeri. Janji kami bertiga yang tak akan meninggalkan keluarga baru ini.
Kembali mengingat-ingat, saya sadar kalau perjalanan panjang ke Situbondo-Bondowoso-Banyuwangi-Jember akhir November lalu ternyata menjadi perjalanan terakhir saya bersama Muchlis tahun ini. Saya masih ingat betapa gentingnya momen saat baru turun dari Ijen. Semua tegang, harap-harap cemas. Raut khawatir dan perasaan bersalah dapat saya tangkap dari tingkahnya. Kondisi seperti apa? Silakan tanyakan pada Muchlis sendiri. Ke depan, saya masih percaya kami dapat meluangkan waktu untuk bersama-sama menjelajah seisi negeri lebih jauh lagi.
Muchlis ternyata adalah yang pertama selangkah lebih maju daripada saya dan Mas Kurniawan. Saya salut dengan kegigihannya menyelesaikan skripsinya. Tuntutan orang tuanya dituruti dengan tekun. Keseimbangannya membagi waktu antara akademik dan traveling memang menakjubkan, saya masih belajar banyak darinya. Muchlis bilang sendiri, ia adalah sosok koleris-melankolis. Berwatak keras dan cocok sebagai leader. Sudah cukup lama saya mengenalnya, awal tahun 2011 saat saya baru masuk setahun setelah dia di organisasi saat itu. Kemauannya begitu kuat, sosok motivator ulung yang nantinya saya percaya dia bisa sejajar dengan motivator ternama lainnya. Sebut saja Mario Teguh.
Jakarta Semakin Dekat
Ah, dia juga lelaki yang bersahaja. Kesan yang semakin kuat saat Senin siang kemarin berkunjung ke rumahnya di Veteran, Gresik. Dari rumah yang sangat sederhana itu, ternyata lahir sosok calon pemimpin. Dan dia sudah belajar dari awal. Sebuah kondisi yang saya yakin melecut semangatnya untuk kuat dan tegar, memasung rasa pesimis dan memancang tegak rasa optimis serta percaya diri. Sepanjang persahabatan kami yang dirajut sejak lama, tentu tak dipungkiri cukup kerap terdapat perbedaan opini dan langkah, namun kompromi untuk mencari jalan keluar tetap menjadi prioritas kami. Kekeluargaan.
Hari Sabtu sebelumnya adalah hari terakhirnya di Malang. Perpisahan kecil-kecilan sudah digelar Jum’at lalu. Begitu banyak kesan untuknya yang terucap dari kami. Saya rela menyisihkan sebagian tabungan untuk menyewa mobil dan menyetirnya sendiri dari Malang ke Gresik, pulang pergi. Bersama Siwi, Lutfi, Mbak Rima, Siti, dan Fitrah, sengaja kami berkunjung untuk “mengingatkan” agar mempererat tali silaturahmi dan persahabatan yang saya yakin tidak boleh luntur dimakan waktu. Untuk sahabat, pengorbanan rasanya tak adil untuk diperhitungkan.
Wanita berjilbab itu duduk tenang sembari memangku helm di sisi saya saat berangkat menuju stasiun Pasar Turi, Surabaya. Saya membantu memasangkan sabuk pengaman untuknya. Trenyuh dan terharu atas pengakuannya sebagai orang ndeso, yang saya yakin Tuhan akan membalas segala kebersahajaan keluarga kecil ini. Saya juga orang ndeso, namun mungkin sesaat khilaf, lupa hakikat sebenarnya dari diri saya. Sungguh, saya masih harus banyak belajar kehidupan. Juga belajar mengenai arti merantau.
Keinginan yang kuat dari bapak dan ibunya agar kerja kantoran yang rapi, mengantarkan Muchlis melewati serangkaian tahap yang berat menuju status pegawai Bank Rakyat Indonesia. Sangat salut, dari sekitar tiga ribu pelamar, Muchlis lolos dari lubang jarum dan menjadi salah satu di antara 30 pelamar yang sukses. Sebuah proses yang mengharuskan Muchlis merelakan sebagian waktu “muda”-nya untuk bersenang-senang demi membahagiakan kedua orang tuanya. Hidup memang terus berjalan, tidak terhenti di usianya yang ke-23. Dia sudah berada dua langkah di depan kami. Foto wisuda nan gagah di dinding rumahnya adalah pintu kecil menuju lorong penuh lika-liku kehidupan Muchlis selanjutnya.
Mobil melaju kencang membelah tol Romokalisari dan Dupak. Macet cukup panjang membuat jantung saya lumayan berdebar, hingga tiba di parkiran stasiun sekitar 50 menit jelang berangkat. Saya tak menyia-nyiakan waktu untuk merekam memori dalam kamera di depan stasiun. Memasuki lobi stasiun yang cukup pengap, hati saya mulai berdebar seakan tak percaya pertemuan kami secepat ini. Sang ibunda terang meneteskan air mata. Saya sangat paham kesedihannya. Air mata yang juga harus diyakinkan sebagai tangis bahagia agar melapangkan jalan Muchlis menggapai kesuksesan. Muchlis pernah bilang, doa sang ibu (yang dia panggil emak) itu senantiasa menyertai perjuangannya saat melamar kerja. Deg! Apa yang telah saya banggakan untuk orang tua saya? Hanya kado kecil saat ulang tahun ibu saya November lalu…..
Sudah pukul 16.40, carrier, daypack, dan bodypack resmi melekat di tubuh cekingnya. Matanya memerah, menerawang seakan berat memulai langkah menuju kereta api Gumarang di jalur 3. Tiket kereta yang telah berstempel ungu itu nampak erat digenggam. Entah karena takut jatuh atau sebuah genggaman semangat untuk bisa berjuang dengan gigih di Jakarta nanti. Tepat pukul lima sore ia akan meninggalkan Surabaya. Lambaian kami menyambut lambaian tangannya yang sekejap lenyap di balik dinding. Saya menghela nafas panjang. Benar-benar merasa kehilangan seorang sahabat yang saya percaya akan menjadi orang besar untuk negeri ini nanti. Saya percaya perpisahan ini bukan akhir, karena bisa menjadi awal pertemuan selanjutnya yang lebih berkesan. Tenanglah, sahabat, kita masih tetap satu keluarga.
Di luar stasiun, kami berpamitan dengan keluarga kecil itu. Saya berjanji akan berkunjung kembali ke Veteran. Janji yang juga saya ungkapkan kepada Muchlis, saya akan menjenguknya di Jakarta dalam waktu dekat. Mobil putih sewaan ini melaju pelan, keluar meninggalkan stasiun Pasar Turi. Merayapi kemacetan menuju jalan tol, kembali ke Malang melanjutkan perjuangan. Jelang gelap di tengah perjalanan, terdengar getar pesan masuk di telepon selular saya,
“Kawan, makasih banyak, maaf tak bisa berkata banyak, kalian segalanya bagiku, I Love All of You Guy’s. Pakdhe (saya), Lutfi, Mbak Rima, Fitrah, Siti, dan Siwi, :’) “
Tinggalkan Balasan